Sunday, May 3, 2009

Menyaksikan Koran Mati Pelan-Pelan

Beberapa waktu lalu saya kembali membaca e mail mengenai percikan persoalan buruh pers dengan sang majikan. Kali ini menimpa kawan-kawan di sebuah media di Jakarta, dengan induk perusahaannya. Ringkasan e mail itu adalah, karena sejumlah masalah termasuk tentunya krisis ekonomi, induk perusahaan mereka berniat merampingkan salah satu medianya. Tentu saja, bola salju bergulir ke arah buruh pers-nya. Perampingan berarti PHK, dan PHK membuat orang menjerit sekaligus melawan. E mail itu adalah genderang, bahwa kawan-kawan di bawah grup usaha itu akan melawan.
Ini tentu bukan yang pertama. Seperti juga sektor bisnis yang lain, media juga kena getah krisis ekonomi maupun persaingan bisnis. Tapi ini adalah kenyataan yang harus dihadapi, dan kepada kawan-kawan di bawah grup media itu saya ucapkan selamat datang ke era baru matinya surat kabar cetak.
Kapan Newspaper akan kehilangan kata 'Paper' di dalamnya? Tentu saja ketika kertas tidak jadi medium penyampai sebuah berita. Dan semenjak internet lahir, sudah muncul analisis bahwa media baru ini akan menggantikan atau setidaknya menjadi pesaing kuat bagi media cetak.
Pijakan analisisnya sederhana. Harga kertas akan selalu naik, baik karena terbatasnya sumber daya alam untuk membuatnya, maupun karena kebutuhan manusia yang semakin tinggi. Di Barat, telah lama diterapkan budaya kertas yang memakan jutaan kubik kayu hutan. Mereka membungkus makanan dengan kertas, membawa belanjaan dengan kertas, bahkan menyudahi buang air besar juga dengan kertas.
Jadi koran harus bersaing dengan toilet dalam konsumsi kertas, dan lebih buruk lagi, koran bekas tidak mungkin menggantikan toilet tissue. Jadi tidak ada kemungkinan alih fungsi yang bisa menghemat pemakaian kertas dalam kasus ini.Semua maklum, ketika harga kertas naik, pengusaha media kalang kabut.
Di Indonesia, berapa kali harga koran naik ketika harga kertas koran juga naik? Berkali-kali bukan? Jadi, kita bisa andaikan bahwa di masa depan, harga kertas akan semakin naik dan tentu saja ongkos produksi koran semakin mahal.Dalam jangka pendek, seperti juga sektor yang lain, bisnis koran tak kebal terhadap krisis.
Jadi, kalau wartawan ramai memberitakan adanya PHK besar-besaran di sektor perbankan, tambang ataupun hospitality, mereka juga seharusnya mulai khawatir bahwa tidak lama lagi akan muncul pula berita PHK di sejumlah koran, dan mungkin dia sendiri sebagai penulis berita soal PHK itu juga akan kena PHK. Ini adalah rantai yang saling terkait karena media hidup salah satunya dari iklan, dan sektor-sektor itulah yang mengirim iklan. Jika sektor-sektor itu "sakit", maka dalam waktu tidak begitu lama, sektor media juga ikut tertular.
Dari "luar", bisnis media cetak juga mendapat serangan dari media online.
Anak saya pernah memperoleh buku baru dari Daily Telegraph selama dua minggu penuh dengan cukup membayar 2 dollar saja setiap harinya. Buku ini dicetak ekslusif, empat puluh delapan halaman berwarna. Ibaratnya, Daily Telegraph dan Sunday Telegraph membaginya gratis sebagai madu agar orang tertarik membeli koran karena kalau dibandingkan buku sejenis, mestinya harga buku itu sekitar 10 dollar. Dan ini bukan yang pertama, pernah ada seri DVD dan juga topi Australian Day.
Alasannya jelas. Koran tengah mati-matian mempertahankan pembaca tradisionalnya. Mereka berharap tiras tetap tinggi, dengan demikian pemasang iklan juga setia. Tak masalah memberikan bonus yang harganya jauh lebih mahal dari harga korannya sendiri.
Saya pernah mengikuti sesi pertemuan sejumlah mahasiswa master jurnalistik dengan beberapa wartawan Sydney Morning Herald. Salah satu yang dibicarakan adalah, bagaimana masa depan koran berhadapan dengan media online. Ada tersirat kekhawatiran juga bagi koran Sydney itu bahwa pembaca tradisional mereka cenderung menurun setiap tahun. Sejumlah alasan mendasari fenomena itu, misalnya, untuk apa membeli koran jika kita bisa membacanya secara online dan gratis. Atau, saya tidak berlangganan koran untuk mengurangi konsumsi kertas yang dibuat dari kayu di hutan. Atau, berita online datang lebih cepat, untuk apa menunggu koran yang baru datang besok pagi.
Di letter box di kawasan Sydney bagian utara, saya kerap kali menjumpai tulisan No Manly Daily Please!! Manly Daily adalah harian untuk kawasan utara Sydney dan sejauh ini dibagikan gratis ke rumah-rumah. Dan aneh, begitu banyak orang menolak koran gratisan itu yang bahkan sudah diantar ke depan rumah mereka. Belakangan saya juga mengamati, salah satu majalah bulanan yang datang ke rumah, ternyata makin lama makin tipis. Edisi bulan ini, dalam hitungan saya kira-kira tebalnya hanya separuh dari edisi tahun lalu.
Kalau begini keadaannya, wajar jika koran menjadi bisnis yang mungkin di banyak negara sudah memasuki usia senja. Dan internet yang semakin mudah dan semakin murah diakses menjadi salah satu penyebabnya. Survei menunjukkan, untuk setiap 1 persen penetrasi jaringan internet di suatu kawasan, akan mengakibatkan penurunan oplah koran hingga 0,2 persen.
Dan apa yang akan terjadi jika bisnis koran turun? Tentu saja salah satunya adalah perampingan. Krisis ekonomi dunia, semakin mempercepat fenomena PHK di sektor ini. Tengok saja, di tahun 2008 lebih dari 15.608 buruh media di Amerika Serikat di-PHK, dan di Bulan Januari 2009, setidaknya 2.308 pekerja media disana kehilangan pekerjaan.
Mungkin memang sudah waktunya semua harus berubah. Bandingkan saja dengan bagaimana cara orang menikmati musik. Awalnya kita mengenal piringan hitam dan gramaphone, yang kemudian mulai berubah ketika Phillip memperkenalkan kaset pada tahun 1963. Kejayaan kaset diwarnai dengan tape pemutar yang sebesar meja hingga sekecil Walkman. Era ini berakhir dengan berkembangnya CD mulai tahun 90-an, dan kemudian sekarang kita memakai MP3-MP4 player atau iPod.
Kita mengenal Acta Diuma, yang mungkin jadi media massa pertama karena lahir tahun 59 sebelum masehi, bahkan ketika kertas belum ditemukan. Tahun 1605, koran pertama kali lahir di Jerman ketika Johamm Carolus mencetak Relation. Tahun ini, umur koran sudah 403 tahun. Mungkin memang sudah cukup uzur dan tiba waktunya untuk pelan-pelan turun panggung. Akan ada teknologi baru yang menggantikan media yang sudah kita pakai lebih dari empat abad ini.
Dan, karena dunia di luar saja terus berubah, mungkin para wartawan mesti bersiap untuk juga berubah. Tentu bukan berubah profesi, cukup menggali kemungkinan untuk tetap bertahan di bidang ini.

No comments:

Post a Comment