Tuesday, May 5, 2009

Untuk Siapa Sebuah Berita Ditulis?

Untuk kepentingan apa dan siapakah sebenarnya sebuah berita ditulis?
Berawal dari pencurian mobil oleh seorang laki-laki, beberapa bulan yang lalu. Mobil itu milik Brigitte van de Voorde. Pencuri mobil itu akhirnya tertangkap dan tentu saja diadili. Sayangnya, hakim memutuskan untuk membebaskan sang pencuri mobil. Keputusan ini dikeluarkan antara lain justru atas permintaan Brigitte van de Voorde sebagai korban.
Tapi anehnya, Michael Bennett, wartawan The West Australian yang meliput sidang itu justru yang tidak terima dengan putusan bebas sang hakim.
Di luar gedung pengadilan, wartawan koran itu mewawancarai Brigitte van de Voorde.
Michael Bennett : Bu, akan adil jika Anda sebagai korban marah atas keputusan ini.
Brigitte van de Voorde : Tidak... saya tidak marah...
Michael Bennett : Kalau gitu, bagaimana kalau kita tulis Anda kecewa karena pencuri mobil itu tidak dipenjara.
Brigitte van de Voorde : Tidak. saya justru tidak mengharapkan dia dipenjara.
Michael Bennett : ????
Tapi di otak Bennett, sebagai wartawan, justru yang paling diharapkan adalah sebuah kemarahan.
Sore harinya, Bill Hatto, fotografer The West Australian datang ke rumah Brigitte van de Voorde untuk mengambil foto perempuan itu di depan mobilnya yang sempat dicuri.
Terjadi dialog semacam ini.
Bill Hatto : Saya ingin Anda terlihat begitu marah....
Brigitte van de Voorde : Saya tidak marah, semua ini berakhir menyenangkan.
Bill Hatto : ????
Jepret...jepret....jepret...Sang fotografer mengambil foto dari semua sudut, berupaya menampakkan ekspresi marah perempuan itu. Tapi dia tak pernah bisa karena Brigitte selalu tersenyum.
Sayangnya, otak fotografer ini juga sudah sejalan dengan sang wartawan. Pokoknya sebagai korban kejahatan, Brigitte van de Voorde harus MARAH.
Maka esok paginya keluarlah berita beserta foto perempuan itu besar-besar. Judulnya : KORBAN PENCURIAN MOBIL MARAH KARENA HAKIM MEMBEBASKAN TERDAKWA. Beritanya, tentu saja berisi kemarahan.
Lengkap dengan fotonya yang diberi caption : KECEWA;BRIGITTE VAN DE VOORDE MENYATAKAN DIA TIDAK TERIMA KARENA PENCURI MOBILNYA LOLOS DARI HUKUMAN PENJARA. Padahal Brigitte nampak tersenyum dalam foto itu. Dia tak menuruti permintaan sang fotografer untuk menampakkan kemarahan.Buntutnya, Brigitte mengajukan komplain ke The West Australian dan menuntut koran itu memuat ralat berita di halaman pertama, dimana berita itu muncul sebelumnya.Esok paginya muncul berita permintaan maaf dari The West Australian di halaman 3.
Di sidang terakhir kasus ini, hakim ikut memberikan komentar. Menurutnya, Brigitte telah menjadi korban dua kejahatan, yaitu pencurian mobil dan kebohongan media.
Jadi, untuk siapa dan kepentingan apa sebenarnya wartawan menulis sebuah berita?

Pertarungan AM-FM

Waktu kecil, saya disuguhi adegan menarik dalam dunia radio, yaitu mulai hilangnya jalur AM dan pindah ke FM. Nggak ngetren kalau tidak mendengar FM. Jalur ini suaranya lebih bagus, jernih, enak di telinga. Beda sekali dengan AM yang kresek-kresek....Sejak kenal jalur FM, bisa dibilang saya sama sekali tidak mendengarkan radio AM. Setahu saya, jika tak salah, radio-radio pun beralih ke FM karena tidak ingin ditinggalkan pendengarnya. Saya bahkan tidak tahu, apakah di Jogja masih ada radio AM mengudara saat ini.
Tapi ternyata tidak di luar negeri. Di Amerika radio AM awet dan jumlah pendengarnya stabil, bahkan cenderung naik secara umum. Fenomena paling dekat adalah Rush Limbaugh, penyiar di jaringan Premiere Radio Networks yang kini jadi corong suara Republikan Amerika. Meski Rush Limbaugh sudah jadi penyiar sejak 1970-an, tapi popularitasnya betul-betul mencapai puncak di era Obama ini. Dan Limbaugh siaran di jalur AM.
Begitu pula di Australia, radio AM tak kalah bersaing. Dalam survei yang berakhir Maret 2009 lalu, radio AM unggul hampir di semua kota besar Australia, kecuali Brisbane dan Perth. Di Sydney misalnya, nomor satu adalah 2GB sedang di Melbourne ABC774. Dan untuk kategori penyiar paling kesohor di Australia, Alan Jones bertahun-tahun tidak tergantikan. Dia memandu acara pagi hari paling banyak di dengarkan di Australia di radio 2GB.
Baik Rush Limbaugh maupun Alan Jones mencatatkan pendapatan jutaan dollar setiap tahunnya dari mengoceh di radio.
Posisi radio AM di dua kota terbesar yaitu Sydney dan Melbourne tak pernah tergantikan selama bertahun-tahun. Artinya, selera pendengar radio juga tidak banyak berubah. Acara jalur AM biasanya lebih banyak omongan dan sedikit lagu, beda dengan FM yang komposisi lagu dan omongan biasanya seimbang, atau mungkin lebih banyak lagu-lagunya. Radio AM tak mungkin mengandalkan lagu karena kualitas suaranya lebih jelek.
Alan Jones membuktikan bahwa pendengar, setidaknya di kota-kota besar di Australia memang lebih suka menikmati omongannya dari pada mendengar lagu-lagu. Sepanjang siaran, Alan JOnes memang ngoceh melulu. Entah bagaimana dia mengumpulkan semua bahan ocehan itu, mungkin ada tim yang kuat di belakangnya.
Ocehan itu kadang kasar, tapi orang menyukainya. Datanya kuat, analisisnya tajam, dan diselingi humor yang pas. Tiga jam berbusa-busa, tapi pendengar tetap menunggu Alan Jones siaran tiap pagi. Alan Jones dulu siaran di 2UE, tapi kemudian dibajak oleh 2GB dengan janji gaji jauh lebih tinggi. Anehnya, pendengar ikutan pindah dari 2UE ke 2GB. Rupanya mereka tidak fanatik dengan stasiun radio, mereka adalah penggemar setia Alan Jones yang akan mengikuti kemanapun penyiar ini pindah siaran. Kepindahan ini juga membawa serta pemasang iklan yang meninggalkan 2UE agar tetap bisa beriklan di acara Alan Jones di 2GB.
Dan memang benar, Alan Jones membawa berkah besar bagi 2GB.Dan dominasi jalur AM sampai saat ini masih sulit dipatahkan. Perolehan iklan radio AM jauh melampaui radio FM.
Barangkali, radio-radio AM di Jogja bisa bangkit dengan cara yang sama.

Monday, May 4, 2009

Jurnalis, Penipu, Deadline

Ini adalah kisah, dimana pengalaman jurnalistik yang luas dan senioritas kadang kalah oleh ketergesaan akibat tenggat waktu. News Limited, penerbit besar yang antara lain menaungi The Telegraph dan The Sunday Telegraph terancam gugatan besar. Editornya bahkan terancam dipecat.Kisah bermula dari kontak Jack Johnson, seorang pensiunan tentara Australia dengan paparazzi Jamie Fawcett. Johnson menawarkan sejumlah foto bugil seorang gadis yang dia katakan bernama Pauline Hanson. Fawcett tertarik karena foto itu beraroma duit besar. Pauline Hanson sedang maju dalam pemilihan senat negara bagian Queensland. Tentu saja, jika benar itu foto Pauline Hanson, aroma politik yang sedang hangat akan menambah nilai jualnya. Johnson mengatakan, foto itu dia ambil di sebuah hotel di Queensland.Fawcett kemudian mengirim Frank Thorne, seorang jurnalis freelance di Sydney untuk mewawancarai Johnson mengenai detil foto itu, termasuk dimana dia memotret sang perempuan. Dalam wawancara 45 menit, Johnson antara lain juga menyebut bahwa dia juga memiliki foto setengah bugil istri perdana menteri Australia.Thorne langsung mengakhiri wawancara dengan Johnson dan yakin bahwa persiunan tentara itu pembohong. Wawancara dilakukan Jumat, 13 Maret.News Limited, penerbit koran kawakan dengan jurnalis-jurnalis hebat itu, tidak melakukan apa yang Thorne lakukan, re-cek.Fawcett, sang paparazzi, mengirim e mail berisi foto Pauline Hanson tanggal 14 Maret. Dalam waktu kurang dari dua jam, The Sunday Telegraph merespon dan tertarik membeli foto itu. Dan koran The Sunday Telegraph memasang besar-besar foto-foto itu, Minggu 15 Maret.Selama seminggu persoalan ini bergulir, sampai kemudian semua tahu bahwa foto bugil perempuan itu kemungkinan besar diambil dari situs porno Rusia. Dan News Limited terancam gugatan ratusa ribu atau bahkan jutaan dollar Australia.Neil Breen, Editor edisi minggu itu terancam dipecat.
Media Watch mengatakan, ini adalah salah satu contoh paling spektakuler dari keburukan jurnalisme. Yaitu, jurnalisme yang terburu-buru, tanpa cek silang, tanpa invstigasi mendalam, hanya karena dikejar tenggat waktu. Foto itu ditawarkan hari Jumat yang redaksi hanya punya satu hari untuk meneliti. Tapi, waktu satu hari itu dinilai cukup jika memang jurnalis mau melakukan penelitian mendalam.Pertanyaan mendasar yang harus disampaikan editor foto adalah: Dimana negatif foto perempuan bugil itu?Foto itu diambil 30 tahun lalu ketika Pauline Hanson masih muda. Waktu itu, tentu belum ada teknologi foto digital dan semua foto masih memakai negatif film.Sayang tidak ada pertanyaan semacam itu dari redaktur foto.Redaksi foto The Sunday Telegraph hanya melakukan pengecekan, apakah foto itu merupakan rekayasa digital atau bukan. Dan tentu saja bukan, karena foto itu diambil dari situs porno Rusia, yang kemungkinan kemudian dicetak dan di-scan lagi sebelum dikirim ke redaksi.Bahkan, Padahal News Limited sudah membayar 15 ribu dollar untuk foto itu, alias sekitar 120 juta rupiah. The Sunday Telegraph bahkan tidak mengecek, fakta mengenai hotel tempat pengambilan foto itu. Belakangan terungkap, hotel yang disebutkan Johnson sebagai tempat pemotretan bahkan belum berdiri ketika itu.
Ini adalah kisah jatuhnya jurnalis-jurnalis berpengalaman karena satu frasa yang menakutkan kita semua: Deadline.

Sunday, May 3, 2009

Koran Baru: Masa Depan yang Diperdebatkan

Tahun 2054, surat kabar tidak lagi menggunakan kertas sebagai medianya. Berita, gambar dan iklan telah diantarkan ke pembaca melalui gelombang maya. Pembaca menerimanya dengan perangkat sejenis lap top canggih yang super ringan, super kuat batereinya, sehingga bisa ditenteng kemanapun. Dengan perangkat generasi terbaru ini, kita bisa membaca koran format masa depan dimanapun dengan nyaman, termasuk di kereta yang penuh sesak. Jangkauan internet nirkabel, ketika itu telah menyelimuti seluruh tempat di bumi yang dihuni manusia.
Jangan mengeryitkan dahi dahulu. Gambaran itu hanyalah rekaan sutradara film Steven Spielberg dalam salah satu karya apiknya, Minority Report yang dilakoni aktor utama Tom Cruise. Dalam salah satu adegan, Tom Cruise digambarkan sedang membaca koran USA Today dengan perangkat canggih itu dalam kereta Metro. Surat kabar masa depan tidak akan lagi menggunakan kertas karena mahal dan semakin langkanya kayu. Surat kabar juga tidak lagi memiliki istilah harian, karena beritanya diupdate setiap saat. Wartawan tidak memiliki tenggat waktu tengah malam, karena setiap detik adalah tenggat waktu sebuah berita.
Entah akan seperti itu atau tidak, masa depan media massa , termasuk format, isian, hingga sisi bisnisnya masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Banyak perkiraan menyatakan, era surat kabar cetak akan segera berakhir dengan berkembangnya format digital. Sebuah perusahaan bernama E Ink Corp, saat ini sedang mengembangkan teknologi baru untuk format surat kabar di masa depan itu. CEO nya, Russ Wilcox, pernah mengatakan, format surat kabar baru seperti yang tergambar dalam film Steven Spielberg itu tidak akan muncul tahun 2054, tapi tahun 2015! Jauh lebih cepat dari perkiraan sebelumya karena pesatya perkembangan teknologi. E Ink sendiri saat ini sedang mengembangkan layar monitor tipis yang berfungsi serupa kertas untuk media cetak.
Untuk Indonesia , kita boleh memundurkan tahun itu sekitar 10-20 tahun karena kemampuan teknologi yang rendah. Tahun 2015, mungkin pengguna internet di Indonesia yang mampu terus online setiap saat belum sampai 25 persen penduduk. Tahun itu, yang hanya tujuh tahun lagi, jelas masih diisi dengan carut marut persoalan bangsa dan tidak jauh dari politik. Kalau ingin cukup percaya diri, kita mungkin berani mengatakan bahwa teknologi itu akan mampu diadaptasi oleh lebih dari separuh penduduk Indonesia sekitar tahun 2040-an.
Gambaran mengenai masa depan surat kabar itu bisa menjadi bahan renungan ketika kita kembali memegang halaman koran baru ini. Koran yang belum sebulan lahir di Jogja, dan menambah sesak peredaran media massa di kota kecil dengan jumlah pembaca yang kecil pula. Tentu saja banyak yang bertanya, apa yang bisa diharapkan dari Jogja, ketika seseorang atau satu pihak mau menaruh modal besarnya di bisnis media di kota ini. Pengalaman membuktikan, surat kabar lahir dan mati seperti mengikuti siklus angin dan gerak hantu; datang berderu, mengagetkan dan kemudian pergi begitu saja sebelum orang sempat memahat namanya.
Ada beberapa catatan yang bisa dijadikan pegangan, bahwa kita layak optimis dengan munculnya surat kabar baru di daerah. Catatan ini merupakan analisa terharap perkembangan surat kabar di tingkat global, dengan prasyarat yang mengikutinya.

Dunia dan Ruang Sempit
Dunia bergerak ke luar mengikuti naluri manusia. Teknologi merobohkan pagar pembatas hingga jarak dan waktu tidak lagi menjadi persoalan. Orang Eropa datang ke China untuk berobat ke ahli akupuntur, sebaliknya banyak pasien dari Asia antri melakukan operasi di rumah sakit ternama Amerika. Negara menjadi sesuatu yang tidak penting karena kita menganggap diri sendiri sebagai warga dunia. Apalagi, Planet Mars sudah dijelajahi, sehingga mungkin suatu ketika kita akan menelepon ke planet Merah itu dengan salam pembuka: “Halo saya Fulan dari Bumi”.
Sebaliknya, media massa justru semakin menyempit menghindar dari tren dunia yang mengglobal. Dalam beberapa puluh tahun terakhir, surat kabar harian di Amerika, Eropa dan Australia terus mempersempit area cakupan beritanya agar mampu memberikan porsi yang lebih besar bagi wilayah dimana dia terbit. Washington Post kini bahkan 80 persen isinya adalah berita lokal seputar ibukota Amerika. Demikian pula dengan Sydney Morning Herald (SMH) yang sangat pelit dengan berita internasional. Kalau boleh dibilang, SMH benar-benar koran Sydney. Liputan nasionalnya sangat sedikit, sehingga tak ada banyak berita dari kota lain seperti Melbourne , Brisbane , bahkan Canberra yang merupakan ibukota negara.
Media di Indonesia sedang menuju ke arah itu meskipun sangat pelan dan terkesan ogah-ogahan. Baik pemilik modal maupun pengelolanya masih lebih suka menyebut korannya sebagai media nasional. Kelihatan lebih mentereng, lebih bergengsi, meski ongkos dan resiko ambruknya juga jauh lebih besar. Ada pula grup koran yang mempelopori terbitnya edisi lokal, tapi tetap pula yang dijual di halaman depan adalah edisi “persatuan” yang disebut dengan istilah edisi nasional. Mereka belum berani memajang koran edisi lokalnya sebagai daya tarik pembaca di kota-kota kecil.
Namun, itu adalah langkah maju yang sepatutnya diapresiasi. Tidak seperti gaya hidup yang justru mengglobal, masa depan surat kabar justru berada pada keberaniannya untuk terus masuk ke arah lokal. Pembaca akan semakin tertarik dengan apa yang terjadi di sekitar kita, bukan apa yang berada di luar jangkauan. Walaupun dalam beberapa isu, surat kabar daerah masih sering terjebak dengan berita-berita “lokal Jakarta ” tapi dianggap isu nasional. Saya sering heran, banyak koran lokal dulu ikut ribut menulis tentang busway di Jakarta . Mirip dengan liputan televisi nasional yang hampir setiap hari memuat berita tentang busway. Padahal, pembaca atau penontonnya mungkin menggumam: “Busway..? Emang gue pikirin.”
Jadi, kalau ada koran baru terbit di daerah dan memproklamirkan diri sebagai media lokal, maka dia sudah berada di arah yang benar sejak lahir.

Mendorong Bisnis, Melawan Korupsi
Sayangnya, arah yang benar sejak lahir itu tidak cukup untuk membuat sebuah Koran bisa hidup. Media massa adalah juga bentuk bisnis. Untuk bisa hidup, dia harus memutar uang dan menghasilkan laba. Meskipun dibebani berbagai slogan berat, misalnya dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi, media tetaplah memakai hitung-hitungan uang. Berapa yang ditanam, berapa yang masuk setiap bulannya, berapa waktu yang dibutuhkan untuk balik modal, hingga pertimbangan logis apakah sebagai bisnis, sebuah media akan mampu terbit lebih dari setahun atau tidak.
Kalau boleh jujur, jaring laba-laba keuangan di Indonesia adalah persoalan besar bagi kehidupan sebuah media. Uang yang menumpuk di Jakarta , menyebabkan daerah miskin modal, sulit berkembang, terbatas sumber dayanya dan tidak memiliki daya dukung. Maka tidak mengherankan jika media lebih banyak terpusat di Jakarta untuk mendekat ke sumber dana. Lahirlah kemudian persaingan yang teramat keras, untuk mencoba merebut porsi lebih besar di ibukota. Media massa di daerah seperti menjadi penonton saja dalam pertarungan antar Goliath ini.
Selain minimnya daya dukung bisnis, dalam hal ini potensi iklan, media massa di daerah juga dibebani rendahnya minat baca masyarakat yang diperparah oleh rendahnya daya beli. Untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras, minyak, atau membayar tagihan bulanan saja sudah susah payah, apalagi harus membaca koran.
Karena merupakan beban bagi media daerah, maka dua persoalan itu juga wajib diselesaikan sendiri, terutama melalui kebijakan masing-masing media. Setiap daerah sebenarnya memiliki daya dukung cukup, minimal untuk mendukung terbitnya lebih dari dua koran lokal. Meskipun ini hanya berdasar asumsi, tapi kenyataan bahwa di setiap kota besar ada lebih dari satu koran yang terbit sudah menjadi bukti dari asumsi itu. Namun, sekali lagi, kondisi itu tidak ideal karena media daerah akhirnya hanya bisa hidup, tetapi tidak cukup sehat untuk menciptakan jaminan bagi dirinya sendiri agar bisa terbit dalam jangka waktu lama.
Karena itu, tantangan besar bagi media daerah baru, seperti halnya Harian Jogja, adalah terus mengupayakan desentralisasi, terutama dalam bidang keuangan. Uang yang menumpuk di Jakarta harus dibawa ke daerah, agar tersedia cukup sumber dana bagi pertumbuhan wilayah. Media lokal harus mendorong keberanian pemerintah lokal untuk bersuara keras menuntut hak pengeloaan keuangan, termasuk menjadi kompor agar lahir terobosan baru di daerah.
Media daerah juga harus lebih peduli terhadap isu-isu pemberantasan korupsi. Daerah yang kental dengan korupsi membuat bisnis tidak berjalan sehat dan pemodal baik-baik cenderung menghindar. Padahal, bisnis adalah sumber utama iklan dan pemodal yang baik, biasanya percaya bahwa bisnis harus didukung oleh iklan. Pemodal yang korup biasanya tidak beriklan, karena dia merasa bisnisnya akan berjalan baik dengan suap, bukan dengan iklan.
Baru-baru ini, televisi ABC memuat sebuah laporan mengenai kasus korupsi di kota tambang terkenal, Wollongong di selatan Sydney , Australia . Kasus korupsi di kota yang punya hubungan khusus dengan Jogja itu dibongkar oleh media lokal disana, melalui laporan-laporan yang tidak terbantahkan. Wartawan surat kabar lokal yang diwawancarai ABC mengatakan, pengungkapan kasus itu penting agar bisnis berjalan baik. Jika bisnis di kota ini baik, kata wartawan itu, media lokal akan terus bisa hidup dan pada gilirannya, wartawan tidak kehilangan pekerjaan. Logika yang sangat tepat meski terkesan didasarkan atas kepentingan sempit.
Jadi, semua kini berada pada kendali redaksi koran baru di Jogja ini. Sebuah pondasi yang kokoh harus dibangun, dan pondasi itu adalah bisnis dan wilayah yang sehat. Pada gilirannya, media daerah akan memetik hasilnya, meski mungkin membutuhkan waktu lama. Pertanyaan terakhir adalah; seberapa lama modal yang ditanam mampu menjamin niat baik itu terwujud, karena pada gilirannya banyak media gugur di tengah jalan karena kehabisan stamina. Semoga tidak terjadi pada Harian Jogja.
Selamat menambah warna baru kota tercinta.

Menyaksikan Koran Mati Pelan-Pelan

Beberapa waktu lalu saya kembali membaca e mail mengenai percikan persoalan buruh pers dengan sang majikan. Kali ini menimpa kawan-kawan di sebuah media di Jakarta, dengan induk perusahaannya. Ringkasan e mail itu adalah, karena sejumlah masalah termasuk tentunya krisis ekonomi, induk perusahaan mereka berniat merampingkan salah satu medianya. Tentu saja, bola salju bergulir ke arah buruh pers-nya. Perampingan berarti PHK, dan PHK membuat orang menjerit sekaligus melawan. E mail itu adalah genderang, bahwa kawan-kawan di bawah grup usaha itu akan melawan.
Ini tentu bukan yang pertama. Seperti juga sektor bisnis yang lain, media juga kena getah krisis ekonomi maupun persaingan bisnis. Tapi ini adalah kenyataan yang harus dihadapi, dan kepada kawan-kawan di bawah grup media itu saya ucapkan selamat datang ke era baru matinya surat kabar cetak.
Kapan Newspaper akan kehilangan kata 'Paper' di dalamnya? Tentu saja ketika kertas tidak jadi medium penyampai sebuah berita. Dan semenjak internet lahir, sudah muncul analisis bahwa media baru ini akan menggantikan atau setidaknya menjadi pesaing kuat bagi media cetak.
Pijakan analisisnya sederhana. Harga kertas akan selalu naik, baik karena terbatasnya sumber daya alam untuk membuatnya, maupun karena kebutuhan manusia yang semakin tinggi. Di Barat, telah lama diterapkan budaya kertas yang memakan jutaan kubik kayu hutan. Mereka membungkus makanan dengan kertas, membawa belanjaan dengan kertas, bahkan menyudahi buang air besar juga dengan kertas.
Jadi koran harus bersaing dengan toilet dalam konsumsi kertas, dan lebih buruk lagi, koran bekas tidak mungkin menggantikan toilet tissue. Jadi tidak ada kemungkinan alih fungsi yang bisa menghemat pemakaian kertas dalam kasus ini.Semua maklum, ketika harga kertas naik, pengusaha media kalang kabut.
Di Indonesia, berapa kali harga koran naik ketika harga kertas koran juga naik? Berkali-kali bukan? Jadi, kita bisa andaikan bahwa di masa depan, harga kertas akan semakin naik dan tentu saja ongkos produksi koran semakin mahal.Dalam jangka pendek, seperti juga sektor yang lain, bisnis koran tak kebal terhadap krisis.
Jadi, kalau wartawan ramai memberitakan adanya PHK besar-besaran di sektor perbankan, tambang ataupun hospitality, mereka juga seharusnya mulai khawatir bahwa tidak lama lagi akan muncul pula berita PHK di sejumlah koran, dan mungkin dia sendiri sebagai penulis berita soal PHK itu juga akan kena PHK. Ini adalah rantai yang saling terkait karena media hidup salah satunya dari iklan, dan sektor-sektor itulah yang mengirim iklan. Jika sektor-sektor itu "sakit", maka dalam waktu tidak begitu lama, sektor media juga ikut tertular.
Dari "luar", bisnis media cetak juga mendapat serangan dari media online.
Anak saya pernah memperoleh buku baru dari Daily Telegraph selama dua minggu penuh dengan cukup membayar 2 dollar saja setiap harinya. Buku ini dicetak ekslusif, empat puluh delapan halaman berwarna. Ibaratnya, Daily Telegraph dan Sunday Telegraph membaginya gratis sebagai madu agar orang tertarik membeli koran karena kalau dibandingkan buku sejenis, mestinya harga buku itu sekitar 10 dollar. Dan ini bukan yang pertama, pernah ada seri DVD dan juga topi Australian Day.
Alasannya jelas. Koran tengah mati-matian mempertahankan pembaca tradisionalnya. Mereka berharap tiras tetap tinggi, dengan demikian pemasang iklan juga setia. Tak masalah memberikan bonus yang harganya jauh lebih mahal dari harga korannya sendiri.
Saya pernah mengikuti sesi pertemuan sejumlah mahasiswa master jurnalistik dengan beberapa wartawan Sydney Morning Herald. Salah satu yang dibicarakan adalah, bagaimana masa depan koran berhadapan dengan media online. Ada tersirat kekhawatiran juga bagi koran Sydney itu bahwa pembaca tradisional mereka cenderung menurun setiap tahun. Sejumlah alasan mendasari fenomena itu, misalnya, untuk apa membeli koran jika kita bisa membacanya secara online dan gratis. Atau, saya tidak berlangganan koran untuk mengurangi konsumsi kertas yang dibuat dari kayu di hutan. Atau, berita online datang lebih cepat, untuk apa menunggu koran yang baru datang besok pagi.
Di letter box di kawasan Sydney bagian utara, saya kerap kali menjumpai tulisan No Manly Daily Please!! Manly Daily adalah harian untuk kawasan utara Sydney dan sejauh ini dibagikan gratis ke rumah-rumah. Dan aneh, begitu banyak orang menolak koran gratisan itu yang bahkan sudah diantar ke depan rumah mereka. Belakangan saya juga mengamati, salah satu majalah bulanan yang datang ke rumah, ternyata makin lama makin tipis. Edisi bulan ini, dalam hitungan saya kira-kira tebalnya hanya separuh dari edisi tahun lalu.
Kalau begini keadaannya, wajar jika koran menjadi bisnis yang mungkin di banyak negara sudah memasuki usia senja. Dan internet yang semakin mudah dan semakin murah diakses menjadi salah satu penyebabnya. Survei menunjukkan, untuk setiap 1 persen penetrasi jaringan internet di suatu kawasan, akan mengakibatkan penurunan oplah koran hingga 0,2 persen.
Dan apa yang akan terjadi jika bisnis koran turun? Tentu saja salah satunya adalah perampingan. Krisis ekonomi dunia, semakin mempercepat fenomena PHK di sektor ini. Tengok saja, di tahun 2008 lebih dari 15.608 buruh media di Amerika Serikat di-PHK, dan di Bulan Januari 2009, setidaknya 2.308 pekerja media disana kehilangan pekerjaan.
Mungkin memang sudah waktunya semua harus berubah. Bandingkan saja dengan bagaimana cara orang menikmati musik. Awalnya kita mengenal piringan hitam dan gramaphone, yang kemudian mulai berubah ketika Phillip memperkenalkan kaset pada tahun 1963. Kejayaan kaset diwarnai dengan tape pemutar yang sebesar meja hingga sekecil Walkman. Era ini berakhir dengan berkembangnya CD mulai tahun 90-an, dan kemudian sekarang kita memakai MP3-MP4 player atau iPod.
Kita mengenal Acta Diuma, yang mungkin jadi media massa pertama karena lahir tahun 59 sebelum masehi, bahkan ketika kertas belum ditemukan. Tahun 1605, koran pertama kali lahir di Jerman ketika Johamm Carolus mencetak Relation. Tahun ini, umur koran sudah 403 tahun. Mungkin memang sudah cukup uzur dan tiba waktunya untuk pelan-pelan turun panggung. Akan ada teknologi baru yang menggantikan media yang sudah kita pakai lebih dari empat abad ini.
Dan, karena dunia di luar saja terus berubah, mungkin para wartawan mesti bersiap untuk juga berubah. Tentu bukan berubah profesi, cukup menggali kemungkinan untuk tetap bertahan di bidang ini.