Sunday, May 3, 2009

Koran Baru: Masa Depan yang Diperdebatkan

Tahun 2054, surat kabar tidak lagi menggunakan kertas sebagai medianya. Berita, gambar dan iklan telah diantarkan ke pembaca melalui gelombang maya. Pembaca menerimanya dengan perangkat sejenis lap top canggih yang super ringan, super kuat batereinya, sehingga bisa ditenteng kemanapun. Dengan perangkat generasi terbaru ini, kita bisa membaca koran format masa depan dimanapun dengan nyaman, termasuk di kereta yang penuh sesak. Jangkauan internet nirkabel, ketika itu telah menyelimuti seluruh tempat di bumi yang dihuni manusia.
Jangan mengeryitkan dahi dahulu. Gambaran itu hanyalah rekaan sutradara film Steven Spielberg dalam salah satu karya apiknya, Minority Report yang dilakoni aktor utama Tom Cruise. Dalam salah satu adegan, Tom Cruise digambarkan sedang membaca koran USA Today dengan perangkat canggih itu dalam kereta Metro. Surat kabar masa depan tidak akan lagi menggunakan kertas karena mahal dan semakin langkanya kayu. Surat kabar juga tidak lagi memiliki istilah harian, karena beritanya diupdate setiap saat. Wartawan tidak memiliki tenggat waktu tengah malam, karena setiap detik adalah tenggat waktu sebuah berita.
Entah akan seperti itu atau tidak, masa depan media massa , termasuk format, isian, hingga sisi bisnisnya masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Banyak perkiraan menyatakan, era surat kabar cetak akan segera berakhir dengan berkembangnya format digital. Sebuah perusahaan bernama E Ink Corp, saat ini sedang mengembangkan teknologi baru untuk format surat kabar di masa depan itu. CEO nya, Russ Wilcox, pernah mengatakan, format surat kabar baru seperti yang tergambar dalam film Steven Spielberg itu tidak akan muncul tahun 2054, tapi tahun 2015! Jauh lebih cepat dari perkiraan sebelumya karena pesatya perkembangan teknologi. E Ink sendiri saat ini sedang mengembangkan layar monitor tipis yang berfungsi serupa kertas untuk media cetak.
Untuk Indonesia , kita boleh memundurkan tahun itu sekitar 10-20 tahun karena kemampuan teknologi yang rendah. Tahun 2015, mungkin pengguna internet di Indonesia yang mampu terus online setiap saat belum sampai 25 persen penduduk. Tahun itu, yang hanya tujuh tahun lagi, jelas masih diisi dengan carut marut persoalan bangsa dan tidak jauh dari politik. Kalau ingin cukup percaya diri, kita mungkin berani mengatakan bahwa teknologi itu akan mampu diadaptasi oleh lebih dari separuh penduduk Indonesia sekitar tahun 2040-an.
Gambaran mengenai masa depan surat kabar itu bisa menjadi bahan renungan ketika kita kembali memegang halaman koran baru ini. Koran yang belum sebulan lahir di Jogja, dan menambah sesak peredaran media massa di kota kecil dengan jumlah pembaca yang kecil pula. Tentu saja banyak yang bertanya, apa yang bisa diharapkan dari Jogja, ketika seseorang atau satu pihak mau menaruh modal besarnya di bisnis media di kota ini. Pengalaman membuktikan, surat kabar lahir dan mati seperti mengikuti siklus angin dan gerak hantu; datang berderu, mengagetkan dan kemudian pergi begitu saja sebelum orang sempat memahat namanya.
Ada beberapa catatan yang bisa dijadikan pegangan, bahwa kita layak optimis dengan munculnya surat kabar baru di daerah. Catatan ini merupakan analisa terharap perkembangan surat kabar di tingkat global, dengan prasyarat yang mengikutinya.

Dunia dan Ruang Sempit
Dunia bergerak ke luar mengikuti naluri manusia. Teknologi merobohkan pagar pembatas hingga jarak dan waktu tidak lagi menjadi persoalan. Orang Eropa datang ke China untuk berobat ke ahli akupuntur, sebaliknya banyak pasien dari Asia antri melakukan operasi di rumah sakit ternama Amerika. Negara menjadi sesuatu yang tidak penting karena kita menganggap diri sendiri sebagai warga dunia. Apalagi, Planet Mars sudah dijelajahi, sehingga mungkin suatu ketika kita akan menelepon ke planet Merah itu dengan salam pembuka: “Halo saya Fulan dari Bumi”.
Sebaliknya, media massa justru semakin menyempit menghindar dari tren dunia yang mengglobal. Dalam beberapa puluh tahun terakhir, surat kabar harian di Amerika, Eropa dan Australia terus mempersempit area cakupan beritanya agar mampu memberikan porsi yang lebih besar bagi wilayah dimana dia terbit. Washington Post kini bahkan 80 persen isinya adalah berita lokal seputar ibukota Amerika. Demikian pula dengan Sydney Morning Herald (SMH) yang sangat pelit dengan berita internasional. Kalau boleh dibilang, SMH benar-benar koran Sydney. Liputan nasionalnya sangat sedikit, sehingga tak ada banyak berita dari kota lain seperti Melbourne , Brisbane , bahkan Canberra yang merupakan ibukota negara.
Media di Indonesia sedang menuju ke arah itu meskipun sangat pelan dan terkesan ogah-ogahan. Baik pemilik modal maupun pengelolanya masih lebih suka menyebut korannya sebagai media nasional. Kelihatan lebih mentereng, lebih bergengsi, meski ongkos dan resiko ambruknya juga jauh lebih besar. Ada pula grup koran yang mempelopori terbitnya edisi lokal, tapi tetap pula yang dijual di halaman depan adalah edisi “persatuan” yang disebut dengan istilah edisi nasional. Mereka belum berani memajang koran edisi lokalnya sebagai daya tarik pembaca di kota-kota kecil.
Namun, itu adalah langkah maju yang sepatutnya diapresiasi. Tidak seperti gaya hidup yang justru mengglobal, masa depan surat kabar justru berada pada keberaniannya untuk terus masuk ke arah lokal. Pembaca akan semakin tertarik dengan apa yang terjadi di sekitar kita, bukan apa yang berada di luar jangkauan. Walaupun dalam beberapa isu, surat kabar daerah masih sering terjebak dengan berita-berita “lokal Jakarta ” tapi dianggap isu nasional. Saya sering heran, banyak koran lokal dulu ikut ribut menulis tentang busway di Jakarta . Mirip dengan liputan televisi nasional yang hampir setiap hari memuat berita tentang busway. Padahal, pembaca atau penontonnya mungkin menggumam: “Busway..? Emang gue pikirin.”
Jadi, kalau ada koran baru terbit di daerah dan memproklamirkan diri sebagai media lokal, maka dia sudah berada di arah yang benar sejak lahir.

Mendorong Bisnis, Melawan Korupsi
Sayangnya, arah yang benar sejak lahir itu tidak cukup untuk membuat sebuah Koran bisa hidup. Media massa adalah juga bentuk bisnis. Untuk bisa hidup, dia harus memutar uang dan menghasilkan laba. Meskipun dibebani berbagai slogan berat, misalnya dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi, media tetaplah memakai hitung-hitungan uang. Berapa yang ditanam, berapa yang masuk setiap bulannya, berapa waktu yang dibutuhkan untuk balik modal, hingga pertimbangan logis apakah sebagai bisnis, sebuah media akan mampu terbit lebih dari setahun atau tidak.
Kalau boleh jujur, jaring laba-laba keuangan di Indonesia adalah persoalan besar bagi kehidupan sebuah media. Uang yang menumpuk di Jakarta , menyebabkan daerah miskin modal, sulit berkembang, terbatas sumber dayanya dan tidak memiliki daya dukung. Maka tidak mengherankan jika media lebih banyak terpusat di Jakarta untuk mendekat ke sumber dana. Lahirlah kemudian persaingan yang teramat keras, untuk mencoba merebut porsi lebih besar di ibukota. Media massa di daerah seperti menjadi penonton saja dalam pertarungan antar Goliath ini.
Selain minimnya daya dukung bisnis, dalam hal ini potensi iklan, media massa di daerah juga dibebani rendahnya minat baca masyarakat yang diperparah oleh rendahnya daya beli. Untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras, minyak, atau membayar tagihan bulanan saja sudah susah payah, apalagi harus membaca koran.
Karena merupakan beban bagi media daerah, maka dua persoalan itu juga wajib diselesaikan sendiri, terutama melalui kebijakan masing-masing media. Setiap daerah sebenarnya memiliki daya dukung cukup, minimal untuk mendukung terbitnya lebih dari dua koran lokal. Meskipun ini hanya berdasar asumsi, tapi kenyataan bahwa di setiap kota besar ada lebih dari satu koran yang terbit sudah menjadi bukti dari asumsi itu. Namun, sekali lagi, kondisi itu tidak ideal karena media daerah akhirnya hanya bisa hidup, tetapi tidak cukup sehat untuk menciptakan jaminan bagi dirinya sendiri agar bisa terbit dalam jangka waktu lama.
Karena itu, tantangan besar bagi media daerah baru, seperti halnya Harian Jogja, adalah terus mengupayakan desentralisasi, terutama dalam bidang keuangan. Uang yang menumpuk di Jakarta harus dibawa ke daerah, agar tersedia cukup sumber dana bagi pertumbuhan wilayah. Media lokal harus mendorong keberanian pemerintah lokal untuk bersuara keras menuntut hak pengeloaan keuangan, termasuk menjadi kompor agar lahir terobosan baru di daerah.
Media daerah juga harus lebih peduli terhadap isu-isu pemberantasan korupsi. Daerah yang kental dengan korupsi membuat bisnis tidak berjalan sehat dan pemodal baik-baik cenderung menghindar. Padahal, bisnis adalah sumber utama iklan dan pemodal yang baik, biasanya percaya bahwa bisnis harus didukung oleh iklan. Pemodal yang korup biasanya tidak beriklan, karena dia merasa bisnisnya akan berjalan baik dengan suap, bukan dengan iklan.
Baru-baru ini, televisi ABC memuat sebuah laporan mengenai kasus korupsi di kota tambang terkenal, Wollongong di selatan Sydney , Australia . Kasus korupsi di kota yang punya hubungan khusus dengan Jogja itu dibongkar oleh media lokal disana, melalui laporan-laporan yang tidak terbantahkan. Wartawan surat kabar lokal yang diwawancarai ABC mengatakan, pengungkapan kasus itu penting agar bisnis berjalan baik. Jika bisnis di kota ini baik, kata wartawan itu, media lokal akan terus bisa hidup dan pada gilirannya, wartawan tidak kehilangan pekerjaan. Logika yang sangat tepat meski terkesan didasarkan atas kepentingan sempit.
Jadi, semua kini berada pada kendali redaksi koran baru di Jogja ini. Sebuah pondasi yang kokoh harus dibangun, dan pondasi itu adalah bisnis dan wilayah yang sehat. Pada gilirannya, media daerah akan memetik hasilnya, meski mungkin membutuhkan waktu lama. Pertanyaan terakhir adalah; seberapa lama modal yang ditanam mampu menjamin niat baik itu terwujud, karena pada gilirannya banyak media gugur di tengah jalan karena kehabisan stamina. Semoga tidak terjadi pada Harian Jogja.
Selamat menambah warna baru kota tercinta.

No comments:

Post a Comment